PETANI DAN POHON BAMBU
Pagi itu,seorang petani
datang dan melihat sebatang bambu yang lebih tinggi dari
yang lainnya.ia berkata pada bambu tersebut,
“Bambu,saatnya telah tiba bagiku untuk menggunakanmu.”
“Oh,silahkan tuan.saya bersedia tuan gunakan menjadi apa saja yang tuan kehendaki.”Jawab sang bambu.
“Agar engkau dapat digunakan,saya harus menebangmu lebih dulu.”
“Apa? Menebangku? Bukankah diantara semua bambu disini sayalah yang paling tinggi dan terlihat paling indah bila ditiup angin?”
“Benar,tetapi kalau tidak menebangmu,aku tidak bisa menggunakanmu dengan maksimal.”
Setelah berfikir sejenak,bambu itu berkata,“Baiklah tuan,tebanglah aku.”
“Tetapi bukan hanya itu saja.saya harus memotongmu dan daun-daunmu agar kau dapat digunakan sesuai dengan tujuanku.”Kata petani itu.
“Belum cukupkah tuan menebang saya hingga harus memotong batang dan daun-daunku?”
“Kalau tidak begitu,aku tidak bisa menggunakanmu.”
“Baiklah kalau demikianm”
“Tetapi,masih ada satu lagi.Ruas-ruasmu itu menghalangiku.jadi aku harus mengeluarkan tulang-tulang yang ada dalam ruas-ruasmu.”
Sambil tertunduk si bambu berkata,“Lakukanlah apa yang tuan pandang baik.”
Petani yang empunya kebun itupun menebang bambu tersebut,memotong cabang dan daunnya,serta mengeluarkan tulang-tulang dari dalam bambu itu.kemudian,ia membawa si bambu ke sebuah sumber air.ia menjadikan bambu itu sebagai saluran untuk mengairi tanah-tanah gersang yang ada dikebunnya.Akhirnya,pohon-pohon dan semua tanaman pun menjadi subur menghijau.
Pesan moral dari cerita ini:
Kadang kita perlu merelakan diri kita untuk dikikis dan dibentuk.karakter,kepribadian dan sifat2 buruk penghalang keSUKSESan harus diBUANG.tentu saja hal ini menimbulkan rasa sakit yang dalam.namun,itulah cara agar kita dapat jadi pribadi yang berdaya guna bagi orang banyak.
“Bambu,saatnya telah tiba bagiku untuk menggunakanmu.”
“Oh,silahkan tuan.saya bersedia tuan gunakan menjadi apa saja yang tuan kehendaki.”Jawab sang bambu.
“Agar engkau dapat digunakan,saya harus menebangmu lebih dulu.”
“Apa? Menebangku? Bukankah diantara semua bambu disini sayalah yang paling tinggi dan terlihat paling indah bila ditiup angin?”
“Benar,tetapi kalau tidak menebangmu,aku tidak bisa menggunakanmu dengan maksimal.”
Setelah berfikir sejenak,bambu itu berkata,“Baiklah tuan,tebanglah aku.”
“Tetapi bukan hanya itu saja.saya harus memotongmu dan daun-daunmu agar kau dapat digunakan sesuai dengan tujuanku.”Kata petani itu.
“Belum cukupkah tuan menebang saya hingga harus memotong batang dan daun-daunku?”
“Kalau tidak begitu,aku tidak bisa menggunakanmu.”
“Baiklah kalau demikianm”
“Tetapi,masih ada satu lagi.Ruas-ruasmu itu menghalangiku.jadi aku harus mengeluarkan tulang-tulang yang ada dalam ruas-ruasmu.”
Sambil tertunduk si bambu berkata,“Lakukanlah apa yang tuan pandang baik.”
Petani yang empunya kebun itupun menebang bambu tersebut,memotong cabang dan daunnya,serta mengeluarkan tulang-tulang dari dalam bambu itu.kemudian,ia membawa si bambu ke sebuah sumber air.ia menjadikan bambu itu sebagai saluran untuk mengairi tanah-tanah gersang yang ada dikebunnya.Akhirnya,pohon-pohon dan semua tanaman pun menjadi subur menghijau.
Pesan moral dari cerita ini:
Kadang kita perlu merelakan diri kita untuk dikikis dan dibentuk.karakter,kepribadian dan sifat2 buruk penghalang keSUKSESan harus diBUANG.tentu saja hal ini menimbulkan rasa sakit yang dalam.namun,itulah cara agar kita dapat jadi pribadi yang berdaya guna bagi orang banyak.
Masalah Hidup: Pahitnya Hidup
Ada seorang tua bijak didatangi seorang pemuda yang sedang menghadapi masalah.
Tanpa membuang waktu pemuda itu langsung menceritakan semua masalahnya.
Pak tua bijak hanya mendengar dengan seksama, lalu ia mengambil segenggam serbuk pahit dan meminta anak muda itu mengambil segelas air.
Ditaburkanlah serbuk pahit itu ke dlm gelas dan diaduk perlahan, ”Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya?” Ujar pak tua
“Pahit sekali.....” Jawab pemuda itu
Pak tua itu tersenyum, mengajak pemuda itu untuk berjalan ke tepi danau di belakang rumahnya.
Mereka berjalan berdampingan & akhirnya sampailah mereka berdua ke tepi danau yang tenang itu. Sesampai disana, pak tua itu kembali menaburkan serbuk pahit ke danau itu dan dengan sepotong kayu ia mengaduknya,
“Coba ambil air dari danau itu dan minumlah”
Saat si pemuda mereguk air itu, pak tua bertanya lagi, “Bagaimana rasanya...?”
“Segar....” sahut si pemuda....
" Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu?" Tanya pak tua itu
" Tidak...." Sahut pemuda itu.
Pak tua itu tertawa sambil berkata "Anak muda..." Dengarkan baik-baik, pahitnya kehidupan sama seperti segenggam serbuk pahit ini, tak lebih tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnya pun sama dan memang akan tetap sama.
Tapi "INGAT.." kepahitan yang kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki.
*Jadi saat kita merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu yang kita dapat lakukan:
“Luaskan dan perbesar kapasitas hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu” Hati kita adalah wadah itu.
Jangan jadikan hati kita seperti gelas, tetapi buatlah hati kita seperti danau yang besar dan mampu menampung setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian
Semoga bermanfaat
(jika ada manfatnya, silahkan berbagi dengan sesama)
Ada seorang tua bijak didatangi seorang pemuda yang sedang menghadapi masalah.
Tanpa membuang waktu pemuda itu langsung menceritakan semua masalahnya.
Pak tua bijak hanya mendengar dengan seksama, lalu ia mengambil segenggam serbuk pahit dan meminta anak muda itu mengambil segelas air.
Ditaburkanlah serbuk pahit itu ke dlm gelas dan diaduk perlahan, ”Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya?” Ujar pak tua
“Pahit sekali.....” Jawab pemuda itu
Pak tua itu tersenyum, mengajak pemuda itu untuk berjalan ke tepi danau di belakang rumahnya.
Mereka berjalan berdampingan & akhirnya sampailah mereka berdua ke tepi danau yang tenang itu. Sesampai disana, pak tua itu kembali menaburkan serbuk pahit ke danau itu dan dengan sepotong kayu ia mengaduknya,
“Coba ambil air dari danau itu dan minumlah”
Saat si pemuda mereguk air itu, pak tua bertanya lagi, “Bagaimana rasanya...?”
“Segar....” sahut si pemuda....
" Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu?" Tanya pak tua itu
" Tidak...." Sahut pemuda itu.
Pak tua itu tertawa sambil berkata "Anak muda..." Dengarkan baik-baik, pahitnya kehidupan sama seperti segenggam serbuk pahit ini, tak lebih tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnya pun sama dan memang akan tetap sama.
Tapi "INGAT.." kepahitan yang kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki.
*Jadi saat kita merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu yang kita dapat lakukan:
“Luaskan dan perbesar kapasitas hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu” Hati kita adalah wadah itu.
Jangan jadikan hati kita seperti gelas, tetapi buatlah hati kita seperti danau yang besar dan mampu menampung setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian
Semoga bermanfaat
(jika ada manfatnya, silahkan berbagi dengan sesama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar